ISLAM NUSANTARA:Journal for the Study of Islamic History and Culture

Renegotiating the Islam and Development-Nexus in Indonesia: Fikih Peradaban as a Middle Ground between Local and Global Development Paradigms

Amanda tho Seeth — Fri, 06 Oct 2023 02:06:31 +0000

I n 2015, the United Nations introduced the that aims at globally achieving concrete Sustainable Development Goals (SDGs). Today, sustainable development has become the dominant development narrative in 2030 Agenda, a new development paradigm international cooperation discourse, despite criticism of its top-down approach and secular bias. This explorative article discusses the potential of Indonesian Islamic concepts, such as Nahdlatul Ulama’s Islam Nusantara and Fikih Peradaban, to contribute to the sustainable development discourse from an Islamic perspective. By mapping the current intellectual debate on Fikih Peradaban, I demonstrate that Fikih Peradaban is a particularly suited approach as epistemologically and conceptually it occupies a middle ground position that mediates between local and global development paradigms. I further argue that Fikih Peradaban’s focus on the concepts of humanism, humanist Islam (or Islamic humanism), and Islamic legal reasoning in the service of all people regardless of religious affiliation may contribute to its global appeal and effectiveness. The article draws on notes taken at a conference on “Islam Nusantara and World Peace” (February 5, 2023) in Surabaya as well as notes taken at the first Fikih Peradaban conference (February 6, 2023) in Surabaya. It is also based on a close reading of official material that accompanied the latter conference. Furthermore, I embed the discussion on the nexus between Indonesian Islamic concepts and sustainable development into the broader academic and policy debate on the role of religion within sustainable development. Hence, this article is connected to the research project “Freedom and Development? Religious Actors, Freedom of Religion and Belief, and Sustainable Development” conducted by the German Institute for Global and Area Studies, Hamburg, from 2020 to 2023.

Keywords: Indonesia, Fikih Peradaban, humanist Islam, sustainable development

The Role of Sufis in Connecting Aceh to the Global Islamic Network in the 17th Century

Muhammad Affan — Fri, 06 Oct 2023 00:00:00 +0000

In the 17^th Century, the Sultanate of Aceh reached its peak. At that time, Aceh was connected to the Islamic world through diplomatic channels and maritime trade. In addition to these political and economic factors, Aceh's connectivity with the Islamic World was also connected through the Sufism network, where Sufis from Aceh sailed to Arabia and several other Muslim regions in order to study. These Sufis then returned to Aceh and established Islamic spiritual centers in Aceh and other Southeast Asian regions. The activities of these Sufis, in turn, helped connect Aceh to the global Islamic network. However, the actual role played by these Sufis in connecting Aceh to the global Islamic network has not been specifically explained because several studies that have been conducted tend to explain the pattern of the ulama network formed by Sufis in a broader scope. So that the more specific role of Sufis in connecting Aceh with the global Islamic network has not received adequate explanation. Based on these issues, this study aims to discuss the role of Sufis in building interconnectivity between Aceh and the global Islamic network in the 17^th Century. The main question posed in this study is how the Sufis played their role as agents of connecting Aceh with the international Islamic network in the 17^th Century. While, the method used in this study is the historical method where the source search is done through literature study. From the study, it is concluded that Sufis such as Hamzah Fansuri, Syamsuddin as Sumatrani and Shaykh Abdurrauf played an important role in connecting Aceh with the global Islamic network stretching from Southeast Asia to North Africa through wandering and sending students to study at international centers of Sufism in the Middle East. In addition, Sufis also established correspondence with other Sufis in other parts of the Islamic world. In this way, Aceh became connected to the global Islamic network.

Keywords: Sufism, Islamic interconnectivity, Sultanate of Aceh, global Islamic network, Islamic history

Pada Abad 17 Masehi, Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya. Pada masa itu, Aceh telah terhubung dengan Dunia Islam melalui jalur diplomatik dan perdagangan maritim rempah-rempah. Selain karena faktor politik dan ekonomi tersebut, konektivitas Aceh dengan Dunia Islam juga terhubung melalui jaringan sufisme, dimana para sufi dari Aceh berlayar ke Arab dan beberapa wilayah Muslim lainnya dalam kerangka menuntut ilmu. Para sufi ini kemudian kembali lagi ke Aceh dan mendirikan pusat-pusat spiritual Islam di Aceh dan kawasan Asia Tenggara lainnya. Aktivitas para sufi ini, pada gilirannya telah membantu menghubungkan Aceh dengan jaringan Islam global. Namun bagaimana peran sebenarnya yang dijalankan oleh para sufi ini dalam menghubungkan Aceh dengan jaringan Islam global belum dijelaskan secara khusus karena beberapa kajian yang telah dilakukan cenderung menjelaskan pola jaringan ulama yang terbentuk oleh para sufi dalam lingkup lebih luas. Sehingga peran sufi yang lebih spesifik dalam menghubungkan Aceh dengan jaringan Islam global belum mendapat penjelasan yang memadai. Berdasarkan pada persoalan tersebut, kajian ini bertujuan untuk mendiskusikan peran sufi dalam membangun interkonektivitas antara Aceh dengan jaringan Islam global pada Abad 17. Pertanyaan utama yang diajukan dalam kajian ini adalah bagaimana para sufi menjalankan peran sebagai agen penghubung Aceh dengan jaringan Islam internasional pada Abad 17. Metode yang dipergunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah dimana penelusuran sumbernya dilakukan melalui studi kepustakaan. Dari kajian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa para sufi semacam Hamzah Fansuri, Syamsuddin as Sumatrani dan Syekh Abdurrauf telah berperan penting menghubungkan Aceh dengan jaringan Islam global yang membentang dari Asia Tenggara sampai ke Afrika Utara melalui pengembaraan dan pengiriman para murid-murid untuk belajar ke pusat-pusat sufisme internasional di kawasan Timur Tengah. Selain itu, para sufi juga menjalin hubungan korespondensi dengan sufi lainnya di belahan dunia Islam lainnya. Dengan cara tersebut, Aceh menjadi terhubung dengan jaringan Islam global.

Kata kunci: sufi, interkonektivitas Islam, Kesultanan Aceh, jaringan Islam global, sejarah Islam

في القرن السابع عشر الميلادي ، وصلت سلطنة آتشيه إلى ذروة مجدها حيث سيطرت على تجارة الفلفل على الساحل الغربي لسومطرة وصلت سلطنة آتشيه إلى ذروتها في القرن السابع عشر. في ذلك الوقت ، كانت أتشيه مرتبطة بالعالم الإسلامي من خلال القنوات الدبلوماسية والتجارة البحرية. بالإضافة إلى هذه العوامل السياسية والاقتصادية ، كان ارتباط أتشيه بالعالم الإسلامي مرتبطًا أيضًا من خلال شبكة الصوفية ، حيث أبحر الصوفيون من آتشيه إلى شبه الجزيرة العربية والعديد من المناطق الإسلامية الأخرى للدراسة. عاد هؤلاء الصوفيون بعد ذلك إلى آتشيه وأنشأوا مراكز روحية إسلامية في آتشيه ومناطق أخرى في جنوب شرق آسيا. ساعدت أنشطة هؤلاء الصوفيين بدورهم على ربط أتشيه بالشبكة الإسلامية العالمية. ومع ذلك ، فإن الدور الفعلي الذي لعبه هؤلاء الصوفيون في ربط آتشيه بالشبكة الإسلامية العالمية لم يتم شرحه على وجه التحديد لأن العديد من الدراسات التي أجريت تميل إلى شرح نمط شبكة العلماء التي شكلها الصوفيون على نطاق أوسع. حتى أن الدور الأكثر تحديدًا للصوفيين في ربط أتشيه بالشبكة الإسلامية العالمية لم يتلق تفسيراً كافياً. بناءً على هذه القضايا ، تهدف هذه الدراسة إلى مناقشة دور الصوفيين في بناء الترابط بين أتشيه والشبكة الإسلامية العالمية في القرن السابع عشر. السؤال الرئيسي المطروح في هذه الدراسة هو كيف لعب الصوفيون دورهم كوكلاء لربط آتشيه بالشبكة الإسلامية العالمية في القرن السابع عشر. بينما الطريقة المستخدمة في هذه الدراسة هي الطريقة التاريخية حيث يتم البحث عن المصدر من خلال دراسة الأدب. خلصت الدراسة إلى أن الصوفيين مثل حمزة فنسوري وسيم الدين مثل سومطرة والشيخ عبد الرؤوف لعبوا دورًا مهمًا في ربط آتشيه بالشبكة الإسلامية العالمية الممتدة من جنوب شرق آسيا إلى شمال إفريقيا من خلال التجول وإرسال الطلاب للدراسة في المراكز الدولية. التصوف في الشرق الأوسط. بالإضافة إلى ذلك ، أنشأ الصوفيون أيضًا مراسلات مع صوفيين آخرين في أجزاء أخرى من العالم الإسلامي. وبهذه الطريقة ، أصبحت أتشيه متصلة بالشبكة الإسلامية العالمية.

الكلمات المفتاحية: الصوفية ، الترابط الإسلامي ، سلطنة آتشيه ، الشبكة الإسلامية العالمية ، التاريخ

Modal Sosial sebagai Benih Perdamaian: Interaksi Kolaboratif Penduduk Muslim dan Penganut Sunda Wiwitan di Cimahi, Jawa Barat

Husni Mubarok — Fri, 06 Oct 2023 02:30:17 +0000

Dalam banyak literatur, relasi antara agama dunia dan agama leluhur dala kerangka konflik. Tulisan ini menaruh perhatian pada pengalaman positif relasi antara penganut agama Islam dan Sunda Wiwitan. Da,am satu decade terakhir, acara seren taun, acara tahunan komunitas Sunda Wiwitan, mendapat dukungan komunitas Muslim. Studi ini menggali pengalaman interaksi penganut Islam dan Sunda Wiwitan di Kampung Cireundeu, Kota Cimahi, Jawa Barat. Menggunakan pendekatan kualitatif, yang mana pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi, menemukan bahwa praktik baik relasi penganut Muslim dan Sunda Wiwitan tersebut dipengaruhi oleh modal sosial yang sudah tertanam lama di kampung tersebut. Bonding di dalam masing-masing komunitas cukup kuat sehingga tidak sulit bagi mereka untuk membangun jembatan komunikasi dan kolaborasi dalam kehidupan sehari-hari. Interaksi produktif tersebut memungkinkan relasi dengan pemerintah juga semakin mudah dan produktif.

Aspek Ontologi dan Kosmologi Dalam Ajaran Tasawuf Martabat Tujuh Shaykh Abdul Muhyi Pamijahan

Ali Abdillah — Fri, 06 Oct 2023 02:27:51 +0000

Shaykh Muhyi Pamijahan merupakan murid Shaykh Abd al-Rauf al-Singkili yang berdakwah menyebarkan ajaran Martabat Tujuh dan Tarekat Shattariyah di Pulau Jawa. Ajaran ini tersebar terutama di kalangan ahli tarekat dan para priyayi. Ajaran Martabat Tujuh Shaykh Muhyi bersumber dari kitab al-Tuhfah al-Mursalah karya Shakh Fadl Allah al-Burhanpuri dari India, namun Shaykh Muhyi memiliki penjelasan Martabat Tujuh Tujuh menggunakan bahasa pegon dalam manuskrip Martabat Kang Pipitu dan beberapa naskah koleksi Leiden Library dengan nomor katalog cod. or 7527 dan 7705. Martabat Tujuh merupakan penjelasan dari aspek ontologi yaitu tajalli dhat wujud qadim meliputi ahadiyah, wahdah dan wahidiyah, dan aspek kosmologi yaitu wujud huduts meliputi ‘alam arwah, ‘alam mithal, ‘alam ajsam dan Insan kamil. Penelitian ini menggunakan pendekatan sufistik untuk mengetahui tarekat yang diikuti oleh seorang sufi dan bagaimana karakteristik penafsirannya terhadap Martabat Tujuh. Hasil kajian ini menyimpulkan bahwa Shaykh Muhyi Pamijahan sebagai tokoh sentral dalam penyebaran Martabat Tujuh di Jawa selain mengikuti tarekat Shattariyah dan beberapa terakat lainnya juga mengikuti Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Shaykh Muhyi (w. 1730) sebagai pembawa Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah pertama kali di Nusantara sebelum Shaykh Katib Sambas (w. 1875). Ajaran Martabat Tujuh Shaykh Muhyi memiliki karakteristik penafsiran bercorak Ash’ariyah dengan memilah aspek ontologi yaitu martabat alam qadim (ahadiyah. wahdah. wahidiyah) bersifat tanzih dan aspek kosmologi (alam arwah. mithal, ajsam dan insan) sebagai wujud huduts bersifat tashbih. Selain itu, tetap disiplin dalam pengamalan syariat lahir maupun batin.

Nur al-Nafis fi Takhrij ahadis kitab Durr al-Nafis li al-Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari

Abdurrahim Asbiani — Fri, 06 Oct 2023 02:34:40 +0000

Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husain al-Banjari, seperti mayoritas ulama Melayu
Indonesia yang bermazhab Syafi’i dan Asy’ari. Lahir pada tahun 1148 H atau bertepatan 1735 M.
Ia memiliki beberapa karangan diantaranya ialah kitab “al-Durru al-Nafis fi Bayan Wahidah al-
Af’al wa al-Asma wa al-Shifat wa al-Dzatu al-Taqdis”, yang membahas tentang ilmu tashawuf.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-Durru al-
Nafis. kemudian mendatangkan hukum hadis tersebut dan takhrij-nya supaya orang umum dan
penuntut ilmu mengetahui apakah hadis-hadis tersebut dapat dijadikan hujjah atau tidak. Adapun
manhaj (metode) yang digunakan ialah metode Imam al-Iraqi dalam kitabnya al-Mughni al-Asfar
‘an Haml al-Asfar dalam menentukan hokum hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ihya Ulum al-
Din. Dalam penelitian ini terdapat 31 hadis tanpa pengulangan yang diteliti dalam kitab tersebut.
Kebanyakan hadisnya tidak sahih, yaitu 42% sahih, 19% dhaif dan 39% hadis peneliti tidak
memberikan komentar (hukum). Peneliti berprasangka bahwa Muallif mengambil hadis di
kitabnya dengan orientasi ini karena ia bukan ulama hadis, melainkan ulama tasawuf.

Wali Pitu and Muslim Pilgrimage in Bali, Indonesia (Inventing a Sacred Tradition) Syaifudin Zuhri

Siti Nabila — Fri, 06 Oct 2023 02:37:52 +0000

Buku ini merupakan kajian komprehensip tentang bagaimana tradisi kewalian diciptakan, dimulai dengan pertanyaan tentang pemujaan wali Muslim: bagaimana para wali ini ditemukan, dipasarkan, dialami dan pada saat yang sama ditentang. kultus Wali Pitu memperjelas bagaimana tradisi kewalian disesuaikan untuk memenuhi gaya hidup modern dan permintaan pasar dan bagaimana tradisi yang diciptakan ini dikaitkan dengan formasi sosio politik dan konteks sosiokultural. Secara lebih luas, buku ini mencontohkan tradisi pemujaan wali keliling dalam setting translokal dan dinamika situs ziarah yang dilihat dari perspektif multifaset geografi budaya, batas, dan pertemuan antara Islam Jawa dan Hindu Bali.